Rabu, 08 Maret 2017

MAKNA MALHUDZ TASHRIF BAB TSULASI MUJARROD

Sudah tidak asing lagi di kalangan kita bahkan telah menjadi makanan kita sehari-hari sebuah kitab karya ulama nusantara yang mengupas tuntas tentang contoh-contoh materi pembahasan yang ada dalam ilmu Shorof. Mungkin dapat kita katakan semua permasalahan yang dibahas dalam ilmu shorof telah dicontohkan pada kitab tersebut.
"Al-Amtsilah Al-Tashrifiyyah" Demikianlah Mushonnifnya Syaikh M. Ma'shum bin Ali Allahu Yarhamuh memberikan nama atas karya beliau tersebut. Sesuai dengan namanya, kitab ini memang sengaja didesain hanya menampilkan contoh-contoh saja, tanpa menjelaskan secara gamblang dan terperinci permasalahan-permasalahan yang seharusnya dibahas dalam fan ilmu tesebut.
Namun dibalik semua itu, ada makna tersirat dan sangat menarik dalam rangka mendorong dan sebagai motivasi serta acuan bagi thalabatul ilmi al-syar'i dalam menjalankan tugasnya untuk menghilangkan kebodohan dan memerangi hawa nafsunya. 
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, kami mencoba untuk menganalisa makna-makna tersebut dari lubuk hati yang sangat dalam. Dengan harapan semoga menjadi I'tibar dan introspeksi bagi kami pribadi khususnya dan bagi para santri umumnya.
Dari berbagai pembahasan dalam kitab tersebut, kami hanya membahas pada Tashrif Isthilahi bab Tsulatsi Mujarrod saja khususnya pada binak Shohih, karena lafadz yang asal adalah shohih. Dan ini dapat dianalogkan pada manusia sebagai manusia yang normal, dalam arti tidak memasukkan orang-orang yang mempunyai keistimewaan sejak lahir yang tidak dapat ditiru oleh lainnya.
Pada bab pertama (فتح ضم), beliau mencontohkan lafadz نصر yang berarti menolong. Hal ini menunjukkan bahwa, seseorang yang sudi menuntut ilmu agama (terkhusus bagi santri yang mondok) itu pada dasarnya hanya karena pertolongan Allah SWT. Sebagaimana orang masuk agama Islam itu juga karena mendapat hidayah dari Allah SWT. Walau pun kita berdakwah sampai beberapa ribu tahun, jika orang tersebut tidak mendapatkan hidayah, ia tidak akan masuk agama Islam.
Dalam hal ini ilmu kami posisikan sebagai agama Islam, karena Islam adalah agama yang didasarkan pada ilmu. Di sini, ilmu dan agama atau agama dan ilmu sejatinya merupakan dua wujud yang tidak bisa dipisahkan. Permasalahan agama merupakan permasalahan ilmu, demikian pula sebaliknya . 
Nabi SAW juga bersabda :
العلم دين، والصلاة دين، فانظروا عمن تأخذون هذا العلم وكيف تصلون هذه الصلوات فإنكم تسألون يوم القيامة
Bab kedua (فتح كسر), beliau menampilkan contoh ضرب yang berarti memukul. Contoh ini melambangkan pada perkara-perkara yang berat dan menyakitkan, karena dipukul itu adalah hal yang tidak enak. Pada bab kedua Ini Mbah Mushonnif memberikan isyarat, bahwa setelah kita mendapatkan pertolongan dari Allah untuk mampu menimba ilmu di pondok, kita harus bersunggung-sungguh dalam melaksanakan wadzhifah dan melakukan segala aturan dan kewajiban yang telah ditentukan, serta mampu menghadapi segala cobaan dan rintangan, yang mana hal ini sangat berat dan membutuhkan kesadaran yang sangat tinggi. 
Hal ini kami korelasikan dengan maqolah من جد وجد dan yang telah disinggung oleh syaikh Syarofuddin yahya al-Amrithi dalam memberikan suatu contoh لا ترم علما وتترك التعب
Hal yang sama terdapat dalam Nadzom Al-Imrithy, Mbah Mushonnif memberikan contoh pembagian kalimah dengan menadzomkan :
لاسم وفعل ثم حرف تنقسم وهذه ثلاثـها هي الكلم
والقول لفظ قد أفـاد مطلقا كقم وقد وإن زيدا ارتقى
Kalau kita mau menganalisa syathr tsani nadhom kedua, pasti kita akan menemukan suatu hal besar dan faedah yang penting bagi para santri yang masih duduk di bangku sekolah. Pertama kali Mbah Mushonnif mencontohkan kalimah fi'il dahulu dengan lafdz قم, kemudian kalimah huruf dengan قد dan إن terakhir kalimah isim dengan lafdaz زيدا. Dalam menmpilkan urutan seperti ini, disamping menerapkan badi' laf wan nasyr ghoiru murottab, beliau mempunyai maksud tertentu yang mana menurut analisa kami adalah sebagai berikut :
Pertama beliau mencontohkan lafadz قم yang artinya adalah perintah untuk berdiri. Yang dimaksud disini adalah seorang santri pada tahap awal ia harus berjuang dan mau melakukan hal yang sulit dan berat (belajar, mengahafal, muhafadhoh, sorogan dll). Beliau melambangkan hal yang sulit dan berat ini dengan menggunakan lafadz قم karena orang yang berdiri pastinya dia merasakan berat dan lelah, apalagi berdiri di depan kelas yang ditonton oleh para temannya, pasti ditambah rasa gengsi dan malu. Mungkin dengan penganalisaan seperti inilah para Masyayikh dan Asatidz selalu menta'zir kita dengan cara berdiri.
Kedua kalinya beliau mencontohkan قد kalimah huruf yang termasuk fungsinya adalah taukid yang artinya adalah menguatkan. Ini melambangkan bahwa para santri disamping melakukan hal di atas ia juga harus bersungguh-sungguh, inilah hal yang sangat penting dan menentukan bagi mereka yang menginginkan keberhasilan. 
Jika semua hal diatas telah dilaksanakan, maka Insya Allah dengan izinNya mereka akan menjadi orang yang bertambah-tambah ilmunya kemudian ia menjadi orang yang tinggi derajatnya. Hal ini yang dilambangkan oleh beliau dengan lafadz .إن زيدا ارتقى
Di samping itu, memang sangat benar sekali jika para kiyai kuno dalam mendidik santrinya sangat keras dan beliau tidak segan-segan memukul santrinya jika melakukan kesalahan. Tindakan beliau itu tidak bermaksud jelek dan menyiksa santri, beliau hanyalah memberikan sanksi atas kesalahannya agar mereka jera dan tidak mengulanginya lagi. Para santri yang mendapatkan didikan seperti ini, setelah pulang ke rumah kebanyakan mereka berhasil dan memperoleh derajat yang tinggi, yang salah satu faktornya adalah karena pukulan tadi yang mereka terima dengan penuh keikhlasan yang diyakini juga mengandung banyak barokah. 
Maka dari itu, kami sangat tidak setuju jika pemerintah membuat undang-undang larangan memukul terhadap anak didiknya, disamping mengurangi barokah, aturan ini juga tidak mencerminkan kesalafan dan tidak mengikuti tindakan ulama' salaf yang sulit ditandingi keikhlasan dan kewira'iannya oleh orang-orang zaman sekarang.
Jika para santri mampu melewati dua hal tersebut di atas (mendapatkan pertolongan dari Allah dan bersungguh-bersungguh), Insya Allah perjalanan mereka dalam menuntut ilmu bisa berjalan dengan lancar dan bisa kefutuh (mendapatkan kemudahan dari Allah). Hal inilah yang dilambangkan oleh mbah mushonnif dalam menampilkan contoh pada bab ketiga (فتحتان) dengan lafadz فتح yang artinya adalah membuka, dengan maksud semoga Allah membukakan hati para santri untuk dapat menerima ilmu dengan mudah dan bisa merasakan لذّه العلم.
Nah, mungkin hal inilah yang kurang disadari oleh para santri sehingga mereka sulit mendapatkan futuh dari Allah yang menyebabkan merasa sulit dalam mencari ilmu. اللهم افتح لنا فتوح العارفين
Jika para santri sudah kefutuh, maka ia akan merasakan mudah dalam mencari ilmu bahkan merasa kurang dan haus akan ilmu, sehingga ia dapat mengetahui dan mengerti berbagai macam permasalahan sehingga santri tadi bisa dikatakan sebagai wong ngalim. Hal inilah yang diisyarahkan oleh Mushonnif pada bab keempat (كسر فتح) dengan contoh علم 
Kemudian dengan modal ilmu, seseorang dapat memahami tentang pokok-pokok ajaran agama mulai dari Iman, Islam sampai pada derajat Ihsan yang telah dijelaskan oleh Nabi dalam sabda beliu :
أن تعبد الله كأنك تراه، فإن لم يكن تراه فإنه يراه
Demikian ini makna tersirat dari contoh bab kelima (ضم ضم) dengan menampilkan lafadz حسن 
Terakhir, pada bab keenam beliau menmpilkan contoh حسب yang mana lafdz ini adalah termasuk dari Af'alul Qulub bi makna rujhan, tapi terkadang juga digunakan makna yaqin sebagaimana dalam sya'ir :
حسبت التقى والجود خير تجارة رباحا إذا ما المرء أصبح ثاقلا
Pada contoh terakhir ini melambangkan bahwa, jika orang telah memenuhi semua perkara-perkara di atas, maka orang tadi menjadi orang yang bisa yakin dengan Allah, dalam hatinya tidak ada apapun kecuali Allah. 
Demikianlah makna-makna yang terkandung dalam kitab "Al-Amtsilah Al-Tashrifiyyah" yang pernah kita hafalkan walaupun sekarang sudah lupa.
Kalau kita mau berangan-angan secara mendalam mungkin hal semacam ini tidak terdapat pada kitab ini saja. Seorang mushonnif dalam mengarang kitab pada saat menampilkan contoh, mengurutkan fashl atau menadzomkan dll, disamping untuk menjelaskan dan memudahkan bagi para pembaca dan yang mempelajarinya pasti ada hal lain dibalik semua itu yang dimaksudkan oleh beliau. Semisal dalam ilmu fan nahwu, dari tingkat Ibtida' sampai Aliyah, mushonnif memberikan contoh yang sama, yaitu pasti menampilkan contoh lafadz زيد mulai dari جاء زيد، رأيت زيدا، مررت بزيد sampai غلام زيد. Sampai-sampai ada santri baru penasaran sama orang yang namanya zaid, siapa sih dia? bagaimana bentuk orangnya? Kok pak kyai sering sekali menyebut-nyebut namanya.
Nah, dalam penyebutan contoh lafadz زيد sebagaimana di atas, kiyai mushonnif bermaksud medo'akan kepada kita semua, semoga ilmu yang kita pelajari senantiasa bertambah dari hari ke hari, karena lafadz زيد itu maknanya adalah bertambah. Sebagaimana dalam sebuah sya'ir :
وكن مستفيدا كل يوم زيادة من العلم واسبح في بحور الفوائد

TARIKH LUGHOH 'AROBIYYAH

Bahasa Arab adalah salah satu bahasa tertua di dunia. Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang awal mula munculnya bahasa Arab. Teori pertama menyebutkan bahwa manusia pertama yang melafalkan bahasa Arab adalah Nabi Adam –'alaihissalâm-. Analisa yang digunakan; Nabi Adam –'alaihissalâm- (sebelum turun ke bumi) adalah penduduk surga, dan dalam suatu riwayat dikatakan bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab, maka secara otomatis bahasa yang digunakan oleh Nabi Adam –'alaihissalâm- adalah bahasa Arab dan tentunya anak-anak keturunan Nabi Adam –'alaihissalâm- pun menggunakan bahasa Arab. Setelah jumlah keturunan Nabi Adam –'alaihissalâm- bertambah banyak dan tersebar ke pelbagai tempat, bahasa Arab –yang digunakan saat itu- berkembang menjadi jutaan bahasa yang berbeda. Teori ini kurang populer dikalangan ahli bahasa moderen, khususnya di kalangan orientalis, dengan asumsi  bahwa tidak ada bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa 'Adam –'alaihissalâm- menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari (daily language).

Sedangkan Schlözer, seorang tokoh orientalis, mengemukakan bahwa bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semit. Teori ini diambil dari tabel pembagian bangsa-bangsa di dunia yang terdapat dalam kitab Perjanjian Lama. Tabel ini menggambarkan bahwa setelah terjadinya banjir nabi Nuh, semua bangsa di dunia berasal dari tiga orang putera nabi Nuh –'alaihissalâm- yaitu Syam, Ham, dan Yafis. Nama Semit diambil dari nama Syam, putera Nabi Nuh –'alaihissalâm- yang tertua. Namun teori ini juga mempunyai kelemahan. Tabel penyebaran putera-putera Nuh –'alaihissalâm- yang disebutkan dalam Perjanjian Lama hanya membagi bangsa berdasarkan pertimbangan politik dan geografis semata, tidak ada sangkut pautnya dengan bahasa.
Dalam perkembangannya, bahasa Arab terbagi menjadi dua bagian besar yaitu bahasa Arab Selatan dan Bahasa Arab Utara. Dr. Basuni Imamuddin dalam makalahnya tentang sejarah bahasa Arab menjelaskan tentang pembagian bahasa Arab sebagai berikut,
Bahasa Arab terbagi menjadi dua yaitu bahasa Arab Selatan dan bahasa Arab Utara. Bahasa Arab Selatan disebut juga bahasa Himyaria yang dipakai di Yaman dan Jazirah Arab Tenggara. Bahasa Himyaria ini terbagi dua yaitu bahasa Sabuia dan bahasa Ma’inia. Tentang bahasa ini telah ditemukan artefak-artefak yang merujuk pada abad ke 12 SM sampai abad ke 6 M. Sedangkan bahasa Arab Utara merupakan bahasa wilayah tengah Jazirah Arab dan Timur Laut. Bahasa ini dikenal dengan bahasa Arab Fusha yang hingga kini dan masa-masa yang akan datang tetap dipakai karena al-Qur`an turun dan menggunakan bahasa ini. Bahasa ini mengalami penyebaran yang demikian luas bukan hanya di kalangan bangsa Arab saja tetapi juga di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia.
Pada masa pra-Islam –atau yang lebih dikenal dengan jaman jahiliyah- bahasa Arab mulai mencapai masa puncaknya (prime condition). Hal ini diawali dengan keberhasilan orang-orang Arab Badui –di bawah pimpinan suku Quraisy- menaklukan penduduk padang pasir, sehingga mulai saat itu bahasa Arab dijadikan bahasa utama dan mempunyai kedudukan yang mulia di tengah kehidupan masyarakat sahara. Hal lain yang tidak bisa kita pungkiri untuk membuktikan kemajuan bahasa Arab pada masa jahiliyah adalah kemampuan masyarakat jahiliyah untuk menciptakan syair-syair indah baik dari segi retorika ataupun makna. Bahkan saat itu telah diadakan lomba pembuatan syair atau puisi, syair yang menjadi pemenang dalam perlombaan tersebut nantinya akan dipamerkan di tengah masyarakat dengan cara digantung di dalam Ka'bah, syair-syair ini dikenal dengan nama syair Mu'allaqât (الأشعار المعلقات). Penyair-penyair terkenal yang sering memenangkan perlombaan tersebut antara lain, Amru al-Qais, Zuhair bin Abi Salmi, Al-'Asya, Al-Hantsa, Zaid bin Tsabit, dan Hasan bin Tsabit. Kemajuan syair-syair Arab pada masa ini (jahiliyah, pen) tak luput dari perhatian ahli-ahli bahasa pada masa Islam, bahkan 'Abdullah bin 'Abbas –rahimahumallâh- menjadikan syair-syair jaman jahiliyah sebagai rujukan untuk mendefiniskan beberapa kata dalam al-Qur'an yang kurang jelas maknanya, "syair/puisi adalah referensi orang Arab...(الشعر ديوان العرب)".
Islam datang dengan diutusnya Nabi Muhammad -shallallâhu’alaihi wasallam-, saat itulah al-Qur'an diturunkan, tentu saja menggunakan bahasa Arab yang paling sempurna/baku (فصحي) dengan keindahan retorika dan kedalaman makna yang tak tertandingi. Allah -Subhânahu wa Ta’âla- tidak menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur'an melainkan karena ia adalah bahasa terbaik yang pernah ada. Allah -Subhânahu wa Ta’âla- berfirman, “Sesungguhnya Kami telah jadikan al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkannya.” (Yusuf: 2). Allah -Subhânahu wa Ta’âla-  juga berfirman, “Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Pencipta Semesta Alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas" (Asy Syu’ara: 192-195). Keindahan bahasa al-Qur'an juga diakui oleh Janet Holmes, orientalis pemerhati bahasa. Dia mengatakan bahwa al-Qur'an dilihat dari segi sosiolinguistik atau teori diglosia dan poliglosia mengandung high variety (varitas kebahasaan yang tinggi).
Diturunkannya al-Qur'an dengan bahasa Arab menandai terjadinya revolusi fungsi pembelajaran bahasa Arab. Paska diturunkannya al-Qur'an, dorongan untuk mempelajari bahasa Arab lebih dikarenakan faktor agama daripada faktor-faktor lainnya (ekonomi, politik dan sastra). Bahkan bisa dikatakan bahwa perkembangan bahasa Arab berbanding lurus dengan penyebaran agama Islam.
Adapun penulisan huruf Arab telah dimulai jauh lebih dulu dari pada turunnya al-Qur`an. Namun saat itu huruf Arab belum mengenal titik dan harakat, sehingga paska meninggalnya Rasulullah -shallallâhu’alaihi wasallam- dan beberapa sahabat, mulai muncul kesalahan dalam membaca beberapa kata dalam al-Qur'an. Seperti kata          yang bisa dibaca فتبينوا /fatabayyanû/ atau فتنبثوا /fatanabbatsû/. Untuk menghilangakan kesalahan tersebut maka dibuatlah titik dan harakat. Orang pertama yang menuliskan titik dan harakat pada bahasa Arab adalah Abu al-Aswad ad-Duali –rahimahullâh-.

Selain memprakarsai penulisan titik dan harakat, Abu al-Aswad ad-Duali juga menjadi pioner dalam penyusunan ilmu Nahwu. Tetapi, Teori ilmu Nahwu baru dikembangkan secara komprehensif oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-175 H) dikenal sangat menguasai logika Aristoteles, dengan demikian, teori-teorinya sangat dipengaruhi oleh filsafat. Ia berusaha menguraikan fenomena-fenomena kebahasaan dengan perspektif filsafat, salah satunya adalah pemikiran kausalitas (sababiyyah). Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang “ada” di muka bumi ini mengharuskan “pengada”. Begitu pula dengan fenomena perubahan akhir kata atau i’râb, mengharuskan ada sesuatu “yang menyebabkan” hal itu terjadi. Maka Khalil menamakan penyebab itu dengan ‘âmil (yang berbuat) (‘Alamah, 1993:37-38). Upaya yang dilakukan al-Farahidi diteruskan oleh muridnya yang bernama Sibawaih. Dia telah berhasil menyerap semua pemikiran Khalil dan mengembangkannya secara lebih luas dan mendalam dan menuangkannya dalam sebuat buku yang diberi judul al-Kitab (الكتاب) yang sangat dikagumi oleh masyarakat pemerhati nahwu pada masa itu, sehingga mereka menyebut buku al-Kitab sebagai: “Qur`annya nahwu”. Buku ini benar-benar mencakup semua persoalan nahwu secara menyeluruh, sehingga tidak ada satu masalah pun dalam nahwu yang tidak dibahas.