Rabu, 08 Maret 2017

MAKNA MALHUDZ TASHRIF BAB TSULASI MUJARROD

Sudah tidak asing lagi di kalangan kita bahkan telah menjadi makanan kita sehari-hari sebuah kitab karya ulama nusantara yang mengupas tuntas tentang contoh-contoh materi pembahasan yang ada dalam ilmu Shorof. Mungkin dapat kita katakan semua permasalahan yang dibahas dalam ilmu shorof telah dicontohkan pada kitab tersebut.
"Al-Amtsilah Al-Tashrifiyyah" Demikianlah Mushonnifnya Syaikh M. Ma'shum bin Ali Allahu Yarhamuh memberikan nama atas karya beliau tersebut. Sesuai dengan namanya, kitab ini memang sengaja didesain hanya menampilkan contoh-contoh saja, tanpa menjelaskan secara gamblang dan terperinci permasalahan-permasalahan yang seharusnya dibahas dalam fan ilmu tesebut.
Namun dibalik semua itu, ada makna tersirat dan sangat menarik dalam rangka mendorong dan sebagai motivasi serta acuan bagi thalabatul ilmi al-syar'i dalam menjalankan tugasnya untuk menghilangkan kebodohan dan memerangi hawa nafsunya. 
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, kami mencoba untuk menganalisa makna-makna tersebut dari lubuk hati yang sangat dalam. Dengan harapan semoga menjadi I'tibar dan introspeksi bagi kami pribadi khususnya dan bagi para santri umumnya.
Dari berbagai pembahasan dalam kitab tersebut, kami hanya membahas pada Tashrif Isthilahi bab Tsulatsi Mujarrod saja khususnya pada binak Shohih, karena lafadz yang asal adalah shohih. Dan ini dapat dianalogkan pada manusia sebagai manusia yang normal, dalam arti tidak memasukkan orang-orang yang mempunyai keistimewaan sejak lahir yang tidak dapat ditiru oleh lainnya.
Pada bab pertama (فتح ضم), beliau mencontohkan lafadz نصر yang berarti menolong. Hal ini menunjukkan bahwa, seseorang yang sudi menuntut ilmu agama (terkhusus bagi santri yang mondok) itu pada dasarnya hanya karena pertolongan Allah SWT. Sebagaimana orang masuk agama Islam itu juga karena mendapat hidayah dari Allah SWT. Walau pun kita berdakwah sampai beberapa ribu tahun, jika orang tersebut tidak mendapatkan hidayah, ia tidak akan masuk agama Islam.
Dalam hal ini ilmu kami posisikan sebagai agama Islam, karena Islam adalah agama yang didasarkan pada ilmu. Di sini, ilmu dan agama atau agama dan ilmu sejatinya merupakan dua wujud yang tidak bisa dipisahkan. Permasalahan agama merupakan permasalahan ilmu, demikian pula sebaliknya . 
Nabi SAW juga bersabda :
العلم دين، والصلاة دين، فانظروا عمن تأخذون هذا العلم وكيف تصلون هذه الصلوات فإنكم تسألون يوم القيامة
Bab kedua (فتح كسر), beliau menampilkan contoh ضرب yang berarti memukul. Contoh ini melambangkan pada perkara-perkara yang berat dan menyakitkan, karena dipukul itu adalah hal yang tidak enak. Pada bab kedua Ini Mbah Mushonnif memberikan isyarat, bahwa setelah kita mendapatkan pertolongan dari Allah untuk mampu menimba ilmu di pondok, kita harus bersunggung-sungguh dalam melaksanakan wadzhifah dan melakukan segala aturan dan kewajiban yang telah ditentukan, serta mampu menghadapi segala cobaan dan rintangan, yang mana hal ini sangat berat dan membutuhkan kesadaran yang sangat tinggi. 
Hal ini kami korelasikan dengan maqolah من جد وجد dan yang telah disinggung oleh syaikh Syarofuddin yahya al-Amrithi dalam memberikan suatu contoh لا ترم علما وتترك التعب
Hal yang sama terdapat dalam Nadzom Al-Imrithy, Mbah Mushonnif memberikan contoh pembagian kalimah dengan menadzomkan :
لاسم وفعل ثم حرف تنقسم وهذه ثلاثـها هي الكلم
والقول لفظ قد أفـاد مطلقا كقم وقد وإن زيدا ارتقى
Kalau kita mau menganalisa syathr tsani nadhom kedua, pasti kita akan menemukan suatu hal besar dan faedah yang penting bagi para santri yang masih duduk di bangku sekolah. Pertama kali Mbah Mushonnif mencontohkan kalimah fi'il dahulu dengan lafdz قم, kemudian kalimah huruf dengan قد dan إن terakhir kalimah isim dengan lafdaz زيدا. Dalam menmpilkan urutan seperti ini, disamping menerapkan badi' laf wan nasyr ghoiru murottab, beliau mempunyai maksud tertentu yang mana menurut analisa kami adalah sebagai berikut :
Pertama beliau mencontohkan lafadz قم yang artinya adalah perintah untuk berdiri. Yang dimaksud disini adalah seorang santri pada tahap awal ia harus berjuang dan mau melakukan hal yang sulit dan berat (belajar, mengahafal, muhafadhoh, sorogan dll). Beliau melambangkan hal yang sulit dan berat ini dengan menggunakan lafadz قم karena orang yang berdiri pastinya dia merasakan berat dan lelah, apalagi berdiri di depan kelas yang ditonton oleh para temannya, pasti ditambah rasa gengsi dan malu. Mungkin dengan penganalisaan seperti inilah para Masyayikh dan Asatidz selalu menta'zir kita dengan cara berdiri.
Kedua kalinya beliau mencontohkan قد kalimah huruf yang termasuk fungsinya adalah taukid yang artinya adalah menguatkan. Ini melambangkan bahwa para santri disamping melakukan hal di atas ia juga harus bersungguh-sungguh, inilah hal yang sangat penting dan menentukan bagi mereka yang menginginkan keberhasilan. 
Jika semua hal diatas telah dilaksanakan, maka Insya Allah dengan izinNya mereka akan menjadi orang yang bertambah-tambah ilmunya kemudian ia menjadi orang yang tinggi derajatnya. Hal ini yang dilambangkan oleh beliau dengan lafadz .إن زيدا ارتقى
Di samping itu, memang sangat benar sekali jika para kiyai kuno dalam mendidik santrinya sangat keras dan beliau tidak segan-segan memukul santrinya jika melakukan kesalahan. Tindakan beliau itu tidak bermaksud jelek dan menyiksa santri, beliau hanyalah memberikan sanksi atas kesalahannya agar mereka jera dan tidak mengulanginya lagi. Para santri yang mendapatkan didikan seperti ini, setelah pulang ke rumah kebanyakan mereka berhasil dan memperoleh derajat yang tinggi, yang salah satu faktornya adalah karena pukulan tadi yang mereka terima dengan penuh keikhlasan yang diyakini juga mengandung banyak barokah. 
Maka dari itu, kami sangat tidak setuju jika pemerintah membuat undang-undang larangan memukul terhadap anak didiknya, disamping mengurangi barokah, aturan ini juga tidak mencerminkan kesalafan dan tidak mengikuti tindakan ulama' salaf yang sulit ditandingi keikhlasan dan kewira'iannya oleh orang-orang zaman sekarang.
Jika para santri mampu melewati dua hal tersebut di atas (mendapatkan pertolongan dari Allah dan bersungguh-bersungguh), Insya Allah perjalanan mereka dalam menuntut ilmu bisa berjalan dengan lancar dan bisa kefutuh (mendapatkan kemudahan dari Allah). Hal inilah yang dilambangkan oleh mbah mushonnif dalam menampilkan contoh pada bab ketiga (فتحتان) dengan lafadz فتح yang artinya adalah membuka, dengan maksud semoga Allah membukakan hati para santri untuk dapat menerima ilmu dengan mudah dan bisa merasakan لذّه العلم.
Nah, mungkin hal inilah yang kurang disadari oleh para santri sehingga mereka sulit mendapatkan futuh dari Allah yang menyebabkan merasa sulit dalam mencari ilmu. اللهم افتح لنا فتوح العارفين
Jika para santri sudah kefutuh, maka ia akan merasakan mudah dalam mencari ilmu bahkan merasa kurang dan haus akan ilmu, sehingga ia dapat mengetahui dan mengerti berbagai macam permasalahan sehingga santri tadi bisa dikatakan sebagai wong ngalim. Hal inilah yang diisyarahkan oleh Mushonnif pada bab keempat (كسر فتح) dengan contoh علم 
Kemudian dengan modal ilmu, seseorang dapat memahami tentang pokok-pokok ajaran agama mulai dari Iman, Islam sampai pada derajat Ihsan yang telah dijelaskan oleh Nabi dalam sabda beliu :
أن تعبد الله كأنك تراه، فإن لم يكن تراه فإنه يراه
Demikian ini makna tersirat dari contoh bab kelima (ضم ضم) dengan menampilkan lafadz حسن 
Terakhir, pada bab keenam beliau menmpilkan contoh حسب yang mana lafdz ini adalah termasuk dari Af'alul Qulub bi makna rujhan, tapi terkadang juga digunakan makna yaqin sebagaimana dalam sya'ir :
حسبت التقى والجود خير تجارة رباحا إذا ما المرء أصبح ثاقلا
Pada contoh terakhir ini melambangkan bahwa, jika orang telah memenuhi semua perkara-perkara di atas, maka orang tadi menjadi orang yang bisa yakin dengan Allah, dalam hatinya tidak ada apapun kecuali Allah. 
Demikianlah makna-makna yang terkandung dalam kitab "Al-Amtsilah Al-Tashrifiyyah" yang pernah kita hafalkan walaupun sekarang sudah lupa.
Kalau kita mau berangan-angan secara mendalam mungkin hal semacam ini tidak terdapat pada kitab ini saja. Seorang mushonnif dalam mengarang kitab pada saat menampilkan contoh, mengurutkan fashl atau menadzomkan dll, disamping untuk menjelaskan dan memudahkan bagi para pembaca dan yang mempelajarinya pasti ada hal lain dibalik semua itu yang dimaksudkan oleh beliau. Semisal dalam ilmu fan nahwu, dari tingkat Ibtida' sampai Aliyah, mushonnif memberikan contoh yang sama, yaitu pasti menampilkan contoh lafadz زيد mulai dari جاء زيد، رأيت زيدا، مررت بزيد sampai غلام زيد. Sampai-sampai ada santri baru penasaran sama orang yang namanya zaid, siapa sih dia? bagaimana bentuk orangnya? Kok pak kyai sering sekali menyebut-nyebut namanya.
Nah, dalam penyebutan contoh lafadz زيد sebagaimana di atas, kiyai mushonnif bermaksud medo'akan kepada kita semua, semoga ilmu yang kita pelajari senantiasa bertambah dari hari ke hari, karena lafadz زيد itu maknanya adalah bertambah. Sebagaimana dalam sebuah sya'ir :
وكن مستفيدا كل يوم زيادة من العلم واسبح في بحور الفوائد

TARIKH LUGHOH 'AROBIYYAH

Bahasa Arab adalah salah satu bahasa tertua di dunia. Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang awal mula munculnya bahasa Arab. Teori pertama menyebutkan bahwa manusia pertama yang melafalkan bahasa Arab adalah Nabi Adam –'alaihissalâm-. Analisa yang digunakan; Nabi Adam –'alaihissalâm- (sebelum turun ke bumi) adalah penduduk surga, dan dalam suatu riwayat dikatakan bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab, maka secara otomatis bahasa yang digunakan oleh Nabi Adam –'alaihissalâm- adalah bahasa Arab dan tentunya anak-anak keturunan Nabi Adam –'alaihissalâm- pun menggunakan bahasa Arab. Setelah jumlah keturunan Nabi Adam –'alaihissalâm- bertambah banyak dan tersebar ke pelbagai tempat, bahasa Arab –yang digunakan saat itu- berkembang menjadi jutaan bahasa yang berbeda. Teori ini kurang populer dikalangan ahli bahasa moderen, khususnya di kalangan orientalis, dengan asumsi  bahwa tidak ada bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa 'Adam –'alaihissalâm- menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari (daily language).

Sedangkan Schlözer, seorang tokoh orientalis, mengemukakan bahwa bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semit. Teori ini diambil dari tabel pembagian bangsa-bangsa di dunia yang terdapat dalam kitab Perjanjian Lama. Tabel ini menggambarkan bahwa setelah terjadinya banjir nabi Nuh, semua bangsa di dunia berasal dari tiga orang putera nabi Nuh –'alaihissalâm- yaitu Syam, Ham, dan Yafis. Nama Semit diambil dari nama Syam, putera Nabi Nuh –'alaihissalâm- yang tertua. Namun teori ini juga mempunyai kelemahan. Tabel penyebaran putera-putera Nuh –'alaihissalâm- yang disebutkan dalam Perjanjian Lama hanya membagi bangsa berdasarkan pertimbangan politik dan geografis semata, tidak ada sangkut pautnya dengan bahasa.
Dalam perkembangannya, bahasa Arab terbagi menjadi dua bagian besar yaitu bahasa Arab Selatan dan Bahasa Arab Utara. Dr. Basuni Imamuddin dalam makalahnya tentang sejarah bahasa Arab menjelaskan tentang pembagian bahasa Arab sebagai berikut,
Bahasa Arab terbagi menjadi dua yaitu bahasa Arab Selatan dan bahasa Arab Utara. Bahasa Arab Selatan disebut juga bahasa Himyaria yang dipakai di Yaman dan Jazirah Arab Tenggara. Bahasa Himyaria ini terbagi dua yaitu bahasa Sabuia dan bahasa Ma’inia. Tentang bahasa ini telah ditemukan artefak-artefak yang merujuk pada abad ke 12 SM sampai abad ke 6 M. Sedangkan bahasa Arab Utara merupakan bahasa wilayah tengah Jazirah Arab dan Timur Laut. Bahasa ini dikenal dengan bahasa Arab Fusha yang hingga kini dan masa-masa yang akan datang tetap dipakai karena al-Qur`an turun dan menggunakan bahasa ini. Bahasa ini mengalami penyebaran yang demikian luas bukan hanya di kalangan bangsa Arab saja tetapi juga di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia.
Pada masa pra-Islam –atau yang lebih dikenal dengan jaman jahiliyah- bahasa Arab mulai mencapai masa puncaknya (prime condition). Hal ini diawali dengan keberhasilan orang-orang Arab Badui –di bawah pimpinan suku Quraisy- menaklukan penduduk padang pasir, sehingga mulai saat itu bahasa Arab dijadikan bahasa utama dan mempunyai kedudukan yang mulia di tengah kehidupan masyarakat sahara. Hal lain yang tidak bisa kita pungkiri untuk membuktikan kemajuan bahasa Arab pada masa jahiliyah adalah kemampuan masyarakat jahiliyah untuk menciptakan syair-syair indah baik dari segi retorika ataupun makna. Bahkan saat itu telah diadakan lomba pembuatan syair atau puisi, syair yang menjadi pemenang dalam perlombaan tersebut nantinya akan dipamerkan di tengah masyarakat dengan cara digantung di dalam Ka'bah, syair-syair ini dikenal dengan nama syair Mu'allaqât (الأشعار المعلقات). Penyair-penyair terkenal yang sering memenangkan perlombaan tersebut antara lain, Amru al-Qais, Zuhair bin Abi Salmi, Al-'Asya, Al-Hantsa, Zaid bin Tsabit, dan Hasan bin Tsabit. Kemajuan syair-syair Arab pada masa ini (jahiliyah, pen) tak luput dari perhatian ahli-ahli bahasa pada masa Islam, bahkan 'Abdullah bin 'Abbas –rahimahumallâh- menjadikan syair-syair jaman jahiliyah sebagai rujukan untuk mendefiniskan beberapa kata dalam al-Qur'an yang kurang jelas maknanya, "syair/puisi adalah referensi orang Arab...(الشعر ديوان العرب)".
Islam datang dengan diutusnya Nabi Muhammad -shallallâhu’alaihi wasallam-, saat itulah al-Qur'an diturunkan, tentu saja menggunakan bahasa Arab yang paling sempurna/baku (فصحي) dengan keindahan retorika dan kedalaman makna yang tak tertandingi. Allah -Subhânahu wa Ta’âla- tidak menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur'an melainkan karena ia adalah bahasa terbaik yang pernah ada. Allah -Subhânahu wa Ta’âla- berfirman, “Sesungguhnya Kami telah jadikan al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkannya.” (Yusuf: 2). Allah -Subhânahu wa Ta’âla-  juga berfirman, “Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Pencipta Semesta Alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas" (Asy Syu’ara: 192-195). Keindahan bahasa al-Qur'an juga diakui oleh Janet Holmes, orientalis pemerhati bahasa. Dia mengatakan bahwa al-Qur'an dilihat dari segi sosiolinguistik atau teori diglosia dan poliglosia mengandung high variety (varitas kebahasaan yang tinggi).
Diturunkannya al-Qur'an dengan bahasa Arab menandai terjadinya revolusi fungsi pembelajaran bahasa Arab. Paska diturunkannya al-Qur'an, dorongan untuk mempelajari bahasa Arab lebih dikarenakan faktor agama daripada faktor-faktor lainnya (ekonomi, politik dan sastra). Bahkan bisa dikatakan bahwa perkembangan bahasa Arab berbanding lurus dengan penyebaran agama Islam.
Adapun penulisan huruf Arab telah dimulai jauh lebih dulu dari pada turunnya al-Qur`an. Namun saat itu huruf Arab belum mengenal titik dan harakat, sehingga paska meninggalnya Rasulullah -shallallâhu’alaihi wasallam- dan beberapa sahabat, mulai muncul kesalahan dalam membaca beberapa kata dalam al-Qur'an. Seperti kata          yang bisa dibaca فتبينوا /fatabayyanû/ atau فتنبثوا /fatanabbatsû/. Untuk menghilangakan kesalahan tersebut maka dibuatlah titik dan harakat. Orang pertama yang menuliskan titik dan harakat pada bahasa Arab adalah Abu al-Aswad ad-Duali –rahimahullâh-.

Selain memprakarsai penulisan titik dan harakat, Abu al-Aswad ad-Duali juga menjadi pioner dalam penyusunan ilmu Nahwu. Tetapi, Teori ilmu Nahwu baru dikembangkan secara komprehensif oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-175 H) dikenal sangat menguasai logika Aristoteles, dengan demikian, teori-teorinya sangat dipengaruhi oleh filsafat. Ia berusaha menguraikan fenomena-fenomena kebahasaan dengan perspektif filsafat, salah satunya adalah pemikiran kausalitas (sababiyyah). Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang “ada” di muka bumi ini mengharuskan “pengada”. Begitu pula dengan fenomena perubahan akhir kata atau i’râb, mengharuskan ada sesuatu “yang menyebabkan” hal itu terjadi. Maka Khalil menamakan penyebab itu dengan ‘âmil (yang berbuat) (‘Alamah, 1993:37-38). Upaya yang dilakukan al-Farahidi diteruskan oleh muridnya yang bernama Sibawaih. Dia telah berhasil menyerap semua pemikiran Khalil dan mengembangkannya secara lebih luas dan mendalam dan menuangkannya dalam sebuat buku yang diberi judul al-Kitab (الكتاب) yang sangat dikagumi oleh masyarakat pemerhati nahwu pada masa itu, sehingga mereka menyebut buku al-Kitab sebagai: “Qur`annya nahwu”. Buku ini benar-benar mencakup semua persoalan nahwu secara menyeluruh, sehingga tidak ada satu masalah pun dalam nahwu yang tidak dibahas.

Selasa, 06 September 2016

العربية بين يديك
سلسلة في تعليم اللغة العربية لغير الناطقين بها
وهي كتاب مقرر لجميع الطلاب المبتدئين في دراسة العربية، وفيها بيانات مع الصور الملونــــــــــــــة حتى تسهــــــلهم في ترجمـــــتها إلى اللغة الإندونيسة

Jumat, 15 April 2016

BELANJA UNTUK AKHERAT

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Salahsatu amal ibadah yang terpenting yang dapat membersihkan kotoran kebendaan dan keruhanian, dan sebagai latihan bagi ruhani sehingga seseorang dapat mencapai derajat akhlak yang tinggi sehingga Allah akan ridha kepadanya adalah membelanjakan harta di jalan Allah. Allah telah berfirman kepada Nabi saw. agar mengambil zakat dari harta benda orang-orang beriman untuk membersihkan dan menyucikan harta tersebut.

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيم

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (Q.S. At-Taubah[9]: 103).

Meski demikian, maksud membelanjakan harta yang dapat membersihkan dan menyucikan orang-orang adalah jika itu dilakukan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an. Orang-orang beranggapan bahwa mereka telah menunaikan tugas mereka ketika mereka memberikan sejumlah uang yang sangat sedikit yang diberikan kepada pengemis, memberikan pakaian bekas kepada orang miskin, atau memberi makan kepada orang yang lapar. Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang akan memperoleh pahala dari Allah jika niatnya untuk mencari ridha Allah. Namun sesungguhnya ada batas-batas yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Misalnya, Allah memerintahkan manusia agar menginfakkan apa saja yang melebihi keperluannya:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبيِّنُ اللّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُون

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa'at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 219).

Manusia hanya memerlukan sedikit saja untuk memenuhi keperluan hidupnya di dunia. Harta benda yang di luar keperluan seseorang adalah harta yang berlebih. Yang terpenting bukan jumlah yang diberikan, tetapi apakah ia memberikannya dengan ikhlas atau tidak. Allah mengetahui segala sesuatu dan Dia telah memberi hati nurani kepada manusia untuk menetapkan hal-hal yang sesungguhnya tidak diperlukan.

Menginfakkan harta benda merupakan bentuk ibadah yang mudah bagi orang-orang yang tidak dihinggapi ketamakan terhadap dunia dan yang tidak mengejar dunia, tetapi merindukan akhirat. Allah telah memerintahkan kita untuk menginfakkan sebagian dari harta kita untuk menjauhkan cinta dunia. Menginfakkan harta benda merupakan sarana untuk membersihkan diri dari sifat tamak. Tidak diragukan lagi bahwa bentuk ibadah ini sangat penting bagi orang-orang yang beriman dalam kaitannya dengan perhitungan di akhirat. Rasulullah saw. juga bersabda bahwa orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah akan dirahmati Allah:

DUA MANUSIA YANG DIRAHMATI
Orang yang diberi oleh Allah Al-Qur’an dan ia hidup berdasarkan Al-Qur’an itu, menganggap halal apa saja yang dihalalkan Allah, serta menganggap haram apa saja yang diharamkan-Nya. Sedangkan yang lainnya adalah orang yang diberi harta oleh Allah, dan harta itu digunakannya untuk kemaslahatan sanak keluarganya serta dibelanjakannya di jalan Allah.

Manusia Harus Memberikan Apa Yang Justru Ia Cintai Kepada Orang Miskin
Orang sering kali cenderung memberikan sesuatu jika sesuatu yang diberikan itu tidak merugikan kepentingannya. Misalnya, ketika seseorang memberikan harta bendanya kepada orang miskin, sering kali ia memberikan sesuatu yang tidak lagi diperlukannya dan tidak disukainya, sudah ketinggalan mode, atau tidak layak pakai. Tampaknya orang merasa berat untuk memberikan harta benda yang dicintainya, padahal sesungguhnya kedermawanan seperti ini sangat penting untuk membersihkan diri dan agar mencintai amal kebajikan. Ini merupakan rahasia penting yang diungkapkan Allah kepada umat manusia. Allah telah menyatakan bahwa tidak ada cara lain untuk mencapai kebajikan bagi manusia kecuali melalui:

لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan sebelum kamu menafkahkan sebagian dari harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesung-guhnya Allah mengetahuinya.” (Q.S. Ali Imran[3]: 92).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sen-diri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 267).

Membelanjakan Harta Di Jalan Allah Untuk Mendekatkan Diri Pada-Nya
Bagi orang yang beriman, tidak ada sesuatu pun yang lebih dirindukan daripada memperoleh keridhaan Allah dan dicintai oleh-Nya. Orang yang beriman berusaha mencari asbab untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam hidupnya. Tentang hal ini, Allah menyatakan sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Ma’idah[5]: 35).

Sebagai sebuah rahasia dan berita gembira bagi orang-orang beriman, Allah mengung-kapkan dalam Al-Qur’an bahwa apa yang dibelanjakan akan menjadi asbab untuk mencapai kedekatan dengan-Nya. Dengan demikian bagi orang yang beriman, memberikan apa yang ia cintai dan yang melebihi keperluannya kepada orang-orang miskin tidaklah sulit, tetapi merupakan kesempatan berharga untuk membuktikan bahwa ia adalah orang yang taat dan cinta kepada Allah. Tentang hal ini Allah menyatakan sebagai berikut:

وَمِنَ الأَعْرَابِ مَن يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنفِقُ قُرُبَاتٍ عِندَ اللّهِ وَصَلَوَاتِ الرَّسُولِ أَلا إِنَّهَا قُرْبَةٌ لَّهُمْ سَيُدْخِلُهُمُ اللّهُ فِي رَحْمَتِهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan diantara orang-orang Arab Badui ada orang yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, dan memandang apa yang dinafkahkannya itu sebagai jalan mendekat-kannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri. Kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Taubah[9]: 99).

Rahasia lain yang diungkapkan tentang membelanjakan harta seseorang di jalan Allah menurut Al-Qur’an adalah, bahwa apa saja yang dinafkahkannya itu pasti akan memperoleh balasan. Ini merupakan janji Allah. Orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah tanpa takut akan menjadi miskin, akan memperoleh rahmat yang menakjubkan dalam kehidupan mereka. Apa saja yang dibelanjakan di jalan Allah akan diganjar sepenuhnya. Sebagian ayat yang menceritakan janji tersebut adalah sebagai berikut:

لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ فَلأنفُسِكُمْ وَمَا تُنفِقُونَ إِلاَّ ابْتِغَاء وَجْهِ اللّهِ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُون

“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allahlah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, maka pahalanya itu untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 272).

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُون

“...... Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya.” (Q.S. Al-Anfal[8]: 60).

قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا أَنفَقْتُم مِّن شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.’ Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Q.S. Saba’[34]: 39).

Orang-orang yang beriman hanya mengharapkan keridhaan Allah dan surga ketika mereka memberikan harta mereka; tetapi sebagai rahasia yang diungkapkan oleh Allah, apa saja yang mereka nafkahkan akan dikembalikan lagi kepada mereka. Pengembalian ini merupakan rahmat di dunia, dan di atas segalanya, Allah menyediakan surga bagi orang-orang yang beriman. Dalam pada itu, berkebalikan dengan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Allah akan mengurangi rezeki orang-orang yang bakhil dalam menafkahkan kekayaan mereka, atau orang yang suka mengumpulkan kekayaan dan mengabaikan batasan-batasan Allah. Salah satu ayat yang berkaitan dengan masalah ini menceritakan tentang keadaan orang-orang yang memakan riba:

يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 276).

Allah memberitahukan tentang keberuntungan yang akan didapatkan oleh orang-orang yang memberikan harta mereka sebagai berikut:

مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 261).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakitinya, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah ia bersih. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَتَثْبِيتاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِن لَّمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 265).

Dalam setiap ayat tersebut terdapat rahasia yang diungkapkan Allah kepada orang-orang yang beriman dalam Al-Qur’an. Orang-orang yang beriman memberikan harta benda mereka hanya untuk mencari keridhaan dan rahmat Allah dan surga-Nya. Namun, menyadari tentang rahasia-rahasia yang diungkapkan dalam Al-Qur’an, mereka juga mengharapkan rahmat dan karunia Allah.

Semakin banyak mereka memberikan hartanya di jalan Allah, dan semakin mereka memperhatikan apa yang diharamkan dan yang dihalalkan, Allah akan semakin menambah kekayaan mereka, tugas-tugas mereka dijadikan mudah, dan Allah memberikan kesempatan yang semakin banyak untuk menafkahkan hartanya di jalan Allah. Setiap orang beriman yang bertakwa kepada Allah dan dalam hatinya tidak ada kekhawatiran terhadap masa depan, ia akan memahami rahasia ini dalam kehidupannya.

Rabu, 13 April 2016

SURAH ATTAUBAH


 Surat At-taubah 

Surat At Taubah terdiri atas 129 ayat termasuk golongan surat-surat Madaniyyah. Surat ini dinamakan At Taubah yang berarti pengampunan berhubung kata At Taubah berulang kali disebut dalam surat ini. Dinamakan juga dengan Baraah yang berarti berlepas diri yang di sini maksudnya pernyataan pemutusan perhubungan, disebabkan kebanyakan pokok pembicaraannya tentang pernyataan pemutusan perjanjian damai dengan kaum musyrikin.

Di samping kedua nama yang masyhur itu ada lagi beberapa nama yang lain yang merupakan sifat dari surat ini.

Berlainan dengan surat-surat yang lain, maka pada permulaan surat ini tidak terdapat basmalah, karena surat ini adalah pernyataan perang dengan arti bahwa segenap kaum muslimin dikerahkan untuk memerangi seluruh kaum musyrikin, sedangkan basmalah bernafaskan perdamaian dan cinta kasih Allah.

Surat ini diturunkan sesudah Nabi Muhammad s.a.w. kembali dari peperangan Tabuk yang terjadi pada tahun 9 H. Pengumuman ini disampaikan oleh Saidina 'Ali r.a. pada musim haji tahun itu juga.

Selain daripada pernyataan pembatalan perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu, maka surat ini mengandung pula pokok-pokok isi sebagai berikut:

1. Keimanan:
Allah selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang beriman; pembalasan atas amalan-amalan manusia hanya dari Allah; segala sesuatu menurut sunnatullah; perlindungan Allah bagi orang-orang yang beriman; kedudukan Nabi Muhammad s.a.w. di sisi Allah.

2. Hukum-hukum:
Kewajiban menafkahkan harta; macam-macam harta dalam agama serta penggunaannya; jizyah; perjanjian dan perdamaian; kewajiban umat Islam terhadap Nabinya; sebab-sebab orang Islam melakukan perang total; beberapa dasar politik kenegaraan dan peperangan dalam Islam.

3. Kisah-kisah:
Nabi Muhammad s.a.w. dengan Abu Bakar r.a. di suatu gua di bukit Tsur ketika hijrah; perang Hunain (perang Authas atau perang Hawazin); perang Tabuk.

4. Dan lain-lain:
Sifat-sifat orang yang beriman dan tingkatan-tingkatan mereka.

SEKILAS TENTANG ISTI'ADZAH & BASMALAH



Surat An Nahl
فإذا قرأتَ القرآنَ فاسْتَعِذْ بالله من الشيطان الرجيم  ( 98 )
98. Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.


Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kita untuk membaca
( الاستعاذة / تعوذ ) ketika kita mau membaca Al-qur’an ( sebelum membaca al-qur’an ) karena hal ini merupakan etika atau tatakrama atau adab membaca al-qur’an. Dalam kitab تفسير القرآن العظيم للإمامين الجلالين  karangan Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi bakar Assuyuthi  dijelaskan ayat tersebut sebagai berikut :
فإذا قرأت القرآن) أي أردتَ قراءتَه ( فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم ) أي قلْ أعوذ بالله من الشيطان الرجيم.( ص 224 )
Jika kamu membaca al-qur’an = ditafsirkan – (jika kamu ingin membaca al-qur’an) Maka mintalah perlindungan kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk = ditafsirkan – bacalah Ta’awwudz (  أعوذ بالله من الشيطان الرجيم ).
Allah memerintahakan kita untuk membaca ta’awwudz pastilah ada tujuannya,tidak serta-merta Allah memerintahkan sesuatu tanpa ada tujuannya dan hikmah yang terkandung di dalamnya.Oleh karena itu disini akan coba dibahas apa itu ta’awwudz. Dalam ayat diatas Allah SWT memerintahkan kita untuk membaca ta’awwudz dengan menggunakan pola fiil amr dari fiil madhi استعاذ. Inilah uraiannya :
1) ( dari segi ilmu shorof )
( الأمثلة التصريفية للشيخ محمد معصوم بن علي ) ص 28
اسْتَعَاذَ- يستَعِيذُ- اسْتَعِذْ - أصلها – استعوذ-يستعوذ-استعوذ
Mengikuti wazan fiil tsulatsi mazid bi tsalasati ahruf yaitu  استفعل-يستفعل-استفعل. Wazan ini memiliki makna طلب الفعل ( meminta suatu pekerjaan ), artinya kata perintah yang bergaris bawah dalam ayat di atas mempunyai arti   اطلبْ من الله العوذة ( mintalah perlindungan kepada Allah SWT ).Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa dari segi bahasanya saja kita diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah, artinya dari pilihan bahasanya saja sangat tepat dan mempunyai maksud agar dengan kita meminta perlindungan kepada Allah SWT sebelum membaca al-qur’an, dapat menjauhkan kita dari pemahaman yang sesat tentang ayat-ayat al-qur’an.Jadi ta’awwudz itu meminta perlindungan kepada Allah SWT. Dan kita diperintahkan untuk membaca ta’awwudz sebelum membaca al-qur’an karena ayat diatas menggunakan pola fiil amr ( kata perintah ).
2) ( dari segi ilmu usul fiqh )
Dalam kitab مفتاح الوصول في علم الأصول karangan Al-ustadz Muhammad Jamaaluddin bin Ahmad dijelaskan :
الأصل في الأمر يدل على الوجوب إلا إذا دل الدليل على خلافه
Pada dasarnya perintah itu menunjukan kewajiban kecuali ada dalil yang menunjukan ketidakwajiban.Diantara dalil yang menunjukan ketidakwajiban adalah ayat diatas yaitu sebatas  للإكرام ( memuliakan ), artinya bahwa membaca ta’awwudz meskipun tidak diwajibkan namun hal ini merupakan adab atau akhlaq kita terhadap Al-qur’an sebagai sikap kita memuliakan al-qur’an. Karena al-qur’an bukanlah kitab suci biasa, dan bukanlah seperti kita membaca buku-buku pelajaran namun al-qur’an adalah firman Allah yang suci dan mulia dan juga merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW sehingga dalam membacanyapun kita harus mempunyai adabnya yaitu diantaranya membaca ta’awwudz. Begitu juga membaca basmalah ini juga merupakan bagian dari akhlaq dalam membaca al-qur’an. Coba kita uraikan :
بسم الله الرحمن الرحيم
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang
Tentulah sebelum kita membaca al-qur’an kita membaca basmalah terlebih dahulu, karena basmalah mengandung pujian kepada Allah, bahwa Allah  itu maha agung, maha tinggi,maha pengasih dan penyayang. Artinya dengan membaca basmalah menunjukan akhlaq kita kepada Allah SWT, karena al-qur’an firman Allah dan pantaslah kita memuji Allah SWT terlebih dahulu. Maha tinggi/maha agung itu tersirat dari kata بسم yang berasal dari kata سُمُوٌّ  yang artinya agung dan tinggi Jadi kesimpulannya bahwa membaca ta’awwudz dan basmalah (selain surat at-taubah ) itu merupakan adab membaca al-qur’an dan sebagai wujud memuliakan al-qur’an sebagai firman Allah SWT.


Selasa, 12 April 2016

SALAM KENAL ILMU BALAGHOH

ILMU BALAGHOH

Istilah “’Ilm Al-Balaghah” terdiri atas dua kata, yaitu ‘ilm dan al-Balaghah. Kata “‘Ilm” dapat ditujukan sebagai nama suatu bidang tertentu. Kata “Ilm” juga diartikan sebagai materi-materi pembahasan dalam kajian suatu disiplin ilmu (al-Qadhaya allati tubhatsu fihi). Kata “ilm” juga dapat diartikan sebagai pemahaman yang dimiliki oleh seseorang tentang materi kajian dalam suatu bidang tertentu.

Sedangkan kata “al-Balaghah” didefinisikan oleh para ahli dalam bidang ini dengan definisi yang beragam, diantaranya adalah:
1. Menurut Ali jarim dan Musthafa Amin dalam Balaghatul Wadhihah:
أما البلاغة فهي تأدية المعنى الجليل واضحا بعبارة صحيحة لها في النفس أثر خلاب مع ملائمة كل كلام للموطن الذي يقال فيه والأشخاص الذين يخاطبون.
“Adapun Balaghah itu adalah mengungkapkan makna yang estetik dengan jelas mempergunakan ungkapan yang benar, berpengaruh dalam jiwa, tetap menjaga relevansi setiap kalimatnya dengan tempat diucapkannya ungkapan itu, serta memperhatikan kecocokannya dengan pihak yang diajak bicara”.

 Menurut Dr. Abdullah Syahhatah :
الحد الصحيح للبلاغة في الكلام هو أن يبلغ به المتكلم ما يريد من نفس السامع بإصابة موضع الإقناع من العقل والوجدان
“Definisi yang benar untuk term Balaghah dalam kalimat adalahkeberhasilan si pembicara dalam menyampaikan apa yang dikehendakinya ke dalam jiwa pendengar (penerima), dengan tepat mengena ke sasaran yang ditandai dengan kepuasan akal dan perasaannya”.

 Menurut Khatib al-Qazwini yang dikutip oleh Prof. Dr. Abdul Fattah Lasyin :
البلاغة هي مطابقة الكلام لمقتضى الحال مع فصاحته
Balaghah adalah keserasian antara ungkapan dengan tuntutan situasi disamping ungkapan itu sendiri sudah fasih.
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa inti dari Balaghah adalah penyampaian suatu pesan dengan menggunakan ungkapan yang fasih, relevan antara lafal dengan kandungan maksudnya, tetap memperhatikan situasi dan kondisi pengungkapannya, menjaga kepentingan pihak penerima pesan, serta memiliki pengaruh yang signifikan dalam diri penerima pesan tersebut.
Ilmu Balaghah berarti suatu kajian yang berisi teori-teori dan materi-materi yang berkaitan dengan cara-cara penyampaian ungkapan yang bernilai Balaghah itu sendiri.

Ilmu Balaghah Dalam Perspektif Sejarah

 Balaghah Pra Turunnya Al-Qur’an
Kelahiran dan pertumbuhan Balaghah dikalangan masyarakat penggunanya bersifat arbitrer. Orang-orang Arab Jahiliyah pra turunnya al-Qur’an telah dikenal sebagai ahli sastra yang kompeten. Mereka mampu menggubah lirik-lirik sya’ir atau bait-bait puisi yang mempesona yang menunjukkan kesadaran dan keahlian mereka dalam bidang sastra yang bernilai tinggi. Perhatikanlah misalnya apa yang diungkapkan oleh Imru’ al-Qays salah seorang pujangga Arab Jahiliyah pada saat malam gelap gulita dimana kedua bola matanya sulit terpejam karena mendengar informasi tentang kematian sang ayah yang sangat dicintainya :

فقلت له لما تمطى بصلبه # وأردف أعجازا وناء بكلكل

“Maka kukatakan kepadanya (malam) ketika ia menghimpitku dengan segenap tubuhnya dan menyesakkan dadaku dengan perasaan sedih dan duka cita yang tak terucapkan”.
Duka nestapa dan kesedihan yang begitu abstrak diekspresikan dalam bentuk gaya bahasa yang figurative dan indah sekali. Keindahan bahasa puisi tersebut jelas dan terasa sekali pada kemampuan si penggubahnya dalam menggambarkan hal-hal yang bersifat abstrak menjadi kongkrit, hingga seakan-akan dapat diraba keberadaannya.
Dan resapi serta renungkanlah betapa indahnya gubahan beberapa lirik syai’r yang begitu puitis dalam menggambarkan keadaan yang dialami oleh penyair tatkala ia merasa begitu tersiksa secara psikis dan mental akibat rindu yang begitu mendalam terhadap sang kekasih yang sangat dicintainya. Namun karena adanya jarak yang menghalangi, maka mereka tidak pernah bisa bersua untuk mengobati kerinduannya. Akhirnya keluarlah dari mulut salah seorang diantara mereka lirik-lirik bait syair yang begitu indah untuk menggambarkan keadaan tersebut.

بكيت على سرب القطا إذ مررن بـي # فقلت ومـثـلي بالبكاء جـديـر
أ سرب القطا هل من يـعـير جناحه # لـعلي إلـى من قد هـويت أطـير
فـجاوبـنـي من فوق غصن أراكة # ألا كلـنـا يا مستـعـير نـعـير
فأي قـطاة لم تـعـرك جـنـاحـه # تـعـيـش بذل والجـنـاح كسـير

Artinya: “Aku menangisi sekawanan burung merpati tatkala mereka melintas dihadapanku, dan akupun bergumam: orang seperti diriku memang layak untuk menangis. Wahai kawanan burung merpati, Adakah diantara kalian yang sudi untuk meminjamkan sayapnya kepadaku, agar aku dapat terbang tuk menemui kekasih yang kucintai. Merekapun nyeletuk menjawab permintaanku dari atas ranting pohon arak, Hai orang yang bermaksud meminjam sayap kami, ketahuilah bahwa kami juga sebenarnya sekedar dikasih pinjam. Maka tidak ada seekor burung merpatipun yang rela tuk meminjamkan sayapnya, karena( jika itu terjadi) pasti ia akan hidup dalam keadaan hina dan sayapnya akan patah”.
Perasaan rindu yang terpendam dan berkecamuk serta perasaan asmara yang bergejolak melahirkan perasaan sedih yang mendalam yang diekspresikan dengan cucuran airmata tertuang dalam gubahan syair tersebut dengan indah sekali. Keadaan tersebut diadukan kepada kawanan burung-dalam bentuk dialog personifikatif-yang dilihat oleh penyair sebagai kelompok makhluk yang beruntung karena dilengkapi dengan sayap yang membuat mereka dapat terbang kemanapun mereka suka. Tidak seperti diri penyair yang terisolir dan nasibnya yang terpasung tidak dapat pergi menemui sang kekasih yang sudah lama didambakannya.
Perkembangan kesusastraan Arab pada era jahiliyah diwarnai oleh adanya perkembangan berbagai bentuk sastra, baik prosa maupun puisi yang dikembangkan oleh orang-orang Arab pada masa itu. Perkembangan tersebut didukung juga oleh adanya berbagai kegiatan yang berlangsung pada musim haji setiap tahunnya, dengan diadakannya berbagai perlombaan pidato dan perlombaan membaca sya’ir, yang diadakan di berbagai pusat kegiatan pada waktu itu, seperti di Suq ‘Ukkazh. Kegiatan-kegiatan seperti itu memberi peluang yang besar bagi para ahli sya’ir untuk mengembangkan bahasa dan gaya bahasa mereka dengan ungkapan-ungkapan yang menarik, baik dari segi zahir lafal, keindahan kata yang digunakan, maupun kandungan maknanya.
Selanjutnya Ahmad Thib Raya mengutip pernyataan Syauqi Dheif menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa jahiliyah tersebut telah mencapai tingkat tinggi dalam menggunakan balaghah dan bayan.
 Orang yang melakukan kajian yang serius dan mendalam terhadap sastra Arab jahiliyah, baik prosa maupun puisinya akan berdecak kagum terhadap produk-produk kesusastraan yang mereka miliki. Hal tersebut tampak jelas dari kemampuan mereka untuk mengekspresikan pikiran-pikiran mereka sampai ke tingkat yang lebih tinggi dalam dunia ke-fasih-an dan ke-balaghah-an.
Prof. Dr. Abdul Fattah Lasyin menyatakan bahwa sastra Arab klasik pra turunnya al-Qur’an ini lebih banyak mengekspresikan sesuatu dalam bentuk tasybih, dan majaz saja, terutama isti’arah.

 Balagah Pasca Turunnya Al-Qur’an

Sebagaimana dilihat sebelumnya bahwa keberadaan Balaghah pra turunnya al-Qur’an sudah demikian berkembang, lebih-lebih setelah turunnya al-Qur’an. Keindahan dan kelembutan berbahasa merupakan pokok kajian yang tak habis-habisnya, yang telah melahirkan banyak ungkapan-ungkapan yang indah dan bermakna dalam kepustakaan sastra, terutama setelah turunnya al-Qur’an yang merupakan salah satu inspirator dalam melahirkan keindahan dan kelembutan berbahasa tersebut.
Dalam tradisi Islam, al-Qur’an dipandang sebagai salah satu sumber keindahan atau ke-balaghah-an bagi para penyair dan penulis prosa. Al-Qur’an, diakui oleh mereka sebagai puncak balaghag (nahj al-balaghah) dan merupakan model utama (al-namuzaj al-mitsli) dalam rujukan penggubahan syai’r.
Kedudukan al-Qur’an begitu penting dan berpengaruh besar terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola tutur umat Islam. Seluruh umat sepakat bahwa salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an adalah keindahan bahasanya yang tak tertandingi oleh ungkapan manapun. Gagasan tentang nilai keindahan dan keluhuran tradisi sastra al-Qur’an tidak hanya diakui dalam diskursus kesusastraan dan kebahasaan, namun hal tersebut telah menjadi doktrin agama yang mendasar. Otentisitas al-Qur’an didasarkan atas ajaran ketidakmungkinan al-Qur’an untuk dapat ditiru oleh siapapun, baik dari sisi kandungannya, maupun sisi keindahannya. Itulah konsep I’jaz al-Qur’an, kemukjizatan al-Qur’an yang tak tertandingi. Tidak seorangpun manusia yang bisa membuat ungkapan-ungkapan yang serupa dengan al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri selalu mengemukakan tantangan (al-tahaddi) kepada siapa saja yang meragukan otentisitasnya untuk mendatangkan ungkapan yang serupa dengannya walau hanya satu surat saja sebagaimana pernyataan Allah dalam ayat 23 surat al-Baqarah.
Artinya: “Dan jika kalian masih diselimuti keraguan tentang kebenaran apa (kitab) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka (coba) datangkanlah sekedar satu surat yang mirip dengannya dan ajaklah para pembantu kalian selain Allah (yang kalian anggap mampu) jika kalian benar-benar jujur”.
Dan sesungguhnya mereka telah mengakui dan merasakan ketinggian dan keindahan bahasa al-Qur’an, sehingga diantara mereka ada yang meninggalkan syai’r karena lebih tertarik dengan keindahan bahasa al-Qur’an tersebut sebagaimana keterangan yang diperoleh dari Lubaid dan al-Khansa’ dua orang sastrawan dan pujangga besar masa tersebut.
Mereka juga berusaha keras untuk mencontoh bahasa Al-Qur’an dan mengembangkan nilai-nilai keindahannya dalam pembicaraan dan penulisan. Bahkan sebagian pakar sastra mencoba dengan sadar dan sekasama untuk menyamai bahkan melampaui keindahan al-Qur’an. Uapaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk meladeni tantangan al-Qur’an yang begitu menggugah orang-orang yang memiliki keahlian dan keberanian di antara mereka, meski usaha tersebut tidak pernah berhasil. Tantangan al-Qur’an itu semakin menarik perhatian mereka disamping telah adanya rasa cinta terhadap keindahan dan ketinggian bahasa yang melekat kuat dalam jiwa mereka sejak masa pra turunnya al-Qur’an.
Pengaruh al-Qur’an terhadap Balaghah ‘Arabiyyah tersebut begitu nyata. Hal tersebut ditandai dengan dijadikannya al-Qur’an sebagai objek kajian dalam diskursus-diskursus kebalaghahan yang melahirkan karya-karya besar seperti Kitab Majaz Al-Qur’an karya Abu ‘Ubaidah (w. 207 H) yang ditulis karena adanya ketidakpahaman Ibrahim bin Isma’il terhadap penggunaan tasybih dalam penggambaran sifat syajarat al-Zaqqum (makanan penduduk neraka) dalam firman Allah ayat 65 surat al-Shaffat :
طلعها كأنه رءوس الشياطين .[16]

Sampai masa permulaan Islam ini keberadaan ilmu Balaghah sebagai suatu disiplin ilmu yang utuh seperti saat ini belum terkodifikasi, namun ia terus mengalami perkembangan sedikit demi sedikit. Diawali dengan kajian sastra terhadap beberapa sya’ir dan pidato-pidato orang Jahiliah, dilanjutkan dengan mengulas sya’ir dan sastra pada masa awal Islam, sampai kepada masa pemerintahan Daulah Umaiyah, ia terus mengalami perkembangan yang menggembirakan.
Perkembangan Balaghah yang semakin baik tersebut ditandai dengan munculnya para tokoh yang kompeten dan karya-karya besar mereka pada abad ke-III H, seperti Abu ‘Ubaidah (w. 211 H), Ibnu Qutaibah (w. 276 H), Ibnu Hasan al-Rumani (w. 284 H), al-Farra’ (w.207 H), dan Al-Jahizh (w. 255 H). Abu ‘Ubaidah menyusun sebuah kitab tentang Majaz al-Qur’an yang bernama Ilmu Majazil Qur’an. Ibnu Quthaibah menulis kitab Ta’wil Musykil al-Qur’an, dan Al-Farra’ menulis kitab Ma’anil Qur’an yang meski kebanyakan berisi kajian ilmu Nahwu, tapi juga menyinggung kajian ilmu Balaghah. Sedangkan al-Rumani menyusun kitab An-Naktu Fi I’jazil Qur’an.
 Dan Al-Jahizh dipandang sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam sejarah perkembangan ilmu Balaghah secara umum dan ilmu Bayan secara khusus, lewat karya tulisnya yang berjudul al-Bayan wa al-Tabyin.
Ilmu Balaghah terus mengalami perkembangan sehingga mencapai puncaknya pada abad ke-V H yang ditandai dengan semakin utuhnya kajian-kajian didalamnya yang tertuang dalam dua kitab yang disusun oleh Imam Abdul Qahir al-Jurjani (400-471 H). Kedua kitab tersebut adalah : Pertama, kitab Asrarul Balaghah yang berisi soal-soal majaz, isti’arah, tamtsil, tasybih dan lain-lain dari cabang Ilmu Ma’ani yang merupakan bagian dari Balaghah. Kedua, kitab Dala’ilul I’jaz, yang berisi tentang keindahan susunan kata dan konteksnya, dengan keindahan makna yang merupakan keistimewaan uslub Al-Qur’an yang menunjukkan kemukjizatannya.

Kemudian disusul dengan kemunculan Imam As-Sakaki pada abad ke-VII H yang semakin mematangkan keberadaan Ilmu Balaghah sebagai disiplin Ilmu dengan memetakannya menjadi tiga cabang ilmu sebagai komponennya, yaitu Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan, dan Ilmu Badi’. Namun antara ilmu Bayan dan Ilmu Badi’ masih beliau gabung dalam satu ilmu dengan istilah Ilmu al-Mahasin yang terbagi ke dalam dua bagian, yaitu Al-Mahasin al-Lafziyyah dan Ma’nawiyyah. Beliau menyusun sebuah karya besar yang menguraikan ilmu tersebut disamping ilmu-ilmu pengetahuan bahasa Arab lainnya. Kitab tersebut dikenal dengan nama Miftahul ‘Ulum.

Sedangkan pembagian ilmu Balaghah ke dalam tiga istilah (Ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’) seperti yang dikenal sekarang dilakukan oleh Al-Khatib al-Qazwainy (w. 729 H) pada abad ke-VII H dalam karyanya yang bernama Talkhisul Miftah yang merupakan ringkasan dari kitab Miftahul ‘Ulum karya As-Sakaki.

 Urgensi Ilmu Balaghah
Posisi ilmu Balaghah dalam tatanan kelompok ilmu-ilmu Arab persis seperti posisi ruh dari jasad.[23] Keberadaan ilmu Balaghah dan kaidah-kaidah yang tertuang didalamnya sangat urgen. Urgensitas tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah :
1. Ilmu Balaghah merupakan perangkat media yang dapat menghantarkan seseorang kepada pengetahuan tentang ke-I’jaz-an al-Qur’an;
2. Ilmu Balaghah merupakan salah satu instrument yang dapat membantu seorang yang bergelut dengan diskursus al-Qur’an terutama mufassir dalam memahami kandungan isi al-Qur’an dan pesan-pesan yang tertuang didalamnya. Hal ini diperjelas oleh pernyataan al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf :
… إن أملأ العلوم بما يغمر القرائح وأنهضها بما يبهر الألباب القوارح من غرائب نكت يلطف مسلكها ومستودعات أسرار يدق سلكها علم التفسير الذي لا يتم لتعاطيه وإجالة النظر فيه كل ذي علم, ولا يغوص على تلك الحقائق إلا رجل قد برع في علمين مختصين بالقرآن, وهما علما المعاني والبيان.
“Sesungguhnya ilmu yang paling sarat dengan noktah-noktah rahasia yang rumit di tempuh, paling padat dengan kandungan rahasia yang pelik, yang membuat watak dan otak manusia kewalahan untuk memahaminya adalah ilmu tafsir, yakni ilmu yang sangat sulit untuk dijangkau dan diselidiki oleh orang yang berstatus alim sekalipun. Dan tidak akan mampu untuk menyelam kekedalaman hakekat pemahaman tersebut kecuali seseorang yang memiliki kompetensi dan kredibilitas dalam dua spesifik ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan”.]

Dari pernyataan al-Zamakhsyari tersebut, dapat ditangkap pesan utama bahwa ilmu tafsir merupakan ilmu yang sangat sulit dan pelik, sehingga membutuhkan pelbagai perangkat keilmuan yang mendukung dalam upaya pengkajian dan penafsiran al-Qur’an. Salah satu perangkat utama yang mendukung hal tersebut adalah adanya kompetensi dan penguasaan yang matang tentang dua ilmu utama yang berkaitan dengan al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan. Penguasaan kedua ilmu ini merupakan prasyarat mutlak bagi siapa saja yang ingin menggali isi al-Qur’an.]

Hal tersebut dipertegas oleh Al-Zahabi yang mengutip pernyataan para ulama yang mempersyaratkan beberapa syarat mutlak bagi seorang mufassir dalam upaya menafsirkan al-Qur’an terutama tafsir bi al- ra’yi. Setidaknya mereka harus qualified dan menguasai lima belas jenis ilmu yang merupakan ilmu Bantu mutlak dalam upaya tersebut. Diantara kelima belas ilmu yang mesti dikuasai tersebut adalah ilmu al-Balaghah yang mencakup ketiga komponennya (ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’).] Berikut pernyataan Al-Zahabi :

الخامس والسادس والسابع : علوم البلاغة الثلاثة (المعاني والبيان والبديع) فعلم المعاني, يعرف به خواص تراكيب الكلام من جهة إفادتها المعنى. وعلم البيان, يعرف به خواص التراكيب من حيث إختلافها بحسب وضوح الدلالة وخفائها, وعلم البديع, يعرف به وجوه تحسين الكلام. وهذه العلوم الثلاثة من أعظم أركان المفسر, لأنه لابد له من مراعاة ما يقتضيه الإعجاز, وذلك لايدرك إلا بهذه العلوم.

Artinya: “Yang kelima, keenam, dan ketujuh adalah ilmu Balaghah yang mencakup tiga komponen ilmu (Ma’ani, Bayan, dan Badi’). Ilmu Bayan berfungsi sebagai instrument untuk mengetahui karakteristik struktur kalimat dari sisi pemberian makna. Ilmu Bayan berfungsi sebagai instrument untuk mengetahui karakteristik suatu struktur kalimat dalam hal perbedaan bentuk sisi kejelasan atau ketidak jelasan tunjukannya. Sedangkan ilmu Badi’ berfungsi sebagai instrument untuk mengenal bentuk-bentuk keindahan suatu ungkapan. Ketiga komponen ilmu ini termasuk bagian yang paling basic yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, karena keberadaan seorang mufassir yang dituntut untuk memperhatikan sisi kei’jazan al-Qur’an. Hal itu tidak akan terwujud kecuali dia menguasai ketiga komponen ilmu ini”.

 Fungsi Ilmu Balaghah

Mengenai fungsi ilmu Balaghah ini, penulis berusaha melacak berbagai sumber tentang ilmu ini terutama dalam kaitannya dengan kajian al-Qur’an. Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa setidaknya ada dua fungsi utama yang melekat pada ilmu Balaghah dalam kaitannya dengan kajian ini, yaitu :

Fungsi Interpretatif
Yang dimaksud dengan fungsi interpretatif ini adalah penggunaan ilmu Balaghah dalam menjelaskan dan menerangkan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Peranan fungsi ini sangat dominan dalam upaya pengkajian makna-makna teks al-Qur’an, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu ‘Ubaidah dalam kasus ketidakpahaman Ibrahim bin Ismail tentang maksud uslub tasybih dalam ayat 65 surat al-Shaffat: “ طلعها كأنه رءوس الشياطين”. Penggunaan uslub tasybih dalam menggambarkan makanan penduduk neraka berupa syajarat al-zaqqum dalam ayat diatas menimbulkan kesulitan dan kerancauan dalam pemahaman bagi setiap orang yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang uslub tersebut. Untuk menguraikan interpretasi klausa dalam ayat tersebut sangat dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang ilmu Balaghah. Unsur tasybih dalam klausa ayat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Dhamir “ه” yang melekat pada kata “كأنه” merupakan kata ganti untuk kata “طلع”, yang berposisi sebagai musyabbah. Lafal “كأن” merupakan adat at-tasybih, dan kata “رءوس الشياطين” sebagai musyabbah bih. Sedangkan wajah syabh tidak disebutkan secara eksplisit.
Sebagai salah seorang mufassir yang sangat memperhatikan unsur Balaghah, Imam al-Zamakhsyari dalam menafsirkan maksud ayat tersebut mengawali dengan menjalankan analisnya sesuai dengan analisis ilmu Bayan. Ia menggambarkan mayang pohon zaqqum itu sama dengan kepala-kepala syetan, yang dalam bayang pemikiran manusia sangat menakutkan dan sangat jelek bentuknya. Bayangan kejelekan dan bentuk yang menakutkan itu didasarkan atas keyakinan manusia bahwa setan merupakan makhluk yang paling jahat dan paling menakutkan yang tidak ditemukan padanya sedikitpun kebaikan. Gambaran mengenai mayang pohon zaqqum yang diserupakan dengan kepala-kepala syetan yang begitu menakutkan dan menyeramkan itu hanya ada dalam benak pemikiran manusia saja. Gambaran seperti itu oleh al-Zamakhsyari disebut dengan istilah tasybih takhyili.

Fungsi Argumentatif
Kata “Argumen” merupakan kata serapan dari bahasa asing dan dalam bahasa Indonesia biasa diartikan dengan alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. Dari kata tersebut lahir istilah “Argumentasi”, yang berarti pemberian alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendiriian, atau gagasan. Sedangkan “Argumentatif” adalah memberikan alasan yang dapat dipergunakan sebagai bukti.

Dari pengertian-pengertian kata yang dikemukakan tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan fungsi argumentif ilmu Balaghah adalah suatu fungsi yang dilekatkan bagi ilmu ini dalam upaya memperkuat atau menolak pendapat yang sudah ada tentang al-Qur’an berdasarkan bukti-bukti tertentu. Yang penulis maksud disini adalah pandangan orang yang masih meragukan otentisitas dan keberadaan kitab suci al-Qur’an yang benar-benar datang dari sisi Allah SWT, bahkan cenderung menuduh bahwa kitab tersebut merupakan gubahan tangan Nabi Muhammad Saw. Bagi orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu Balaghah pasti akan menemukan nilai-nilai sastra yang sangat tinggi yang jauh melebihi kemampuan manusia untuk menggubah dan membuat yang mirip dengannya. Oleh karenanya pengetahuannya tentang ilmu Balaghah tersebut dapat menjadi argument yang mendukung ke-I’jaz-an al-Qur’an yang menunjukkan otentisitas kitab tersebut. Pengetahuan tentang Balaghah itu sekaligus membantah tuduhan dan pandangan orang yang menyangsikan otentisitas al-Qur’an selaku kitab suci yang benar-benar bersumber dari sisi Allah SWT, bukan hasil goresan tangan manusia apalagi seperti sosok Nabi Muhammad Saw yang dikenal dengan sifat ke-ummi-annya.
Oleh karena itu, perhatian terhadap kajian ke-balagh-an ini sudah selayaknya menjadi perhatian serius umat Islam terutama pemerhati kajian dan diskursus al-Qur’an. Bahkan Abu Hilal al-‘Askari memandang kedudukan ilmu Balaghah sangat strategis dan utama. Ia menempatkannya dalam urutan kedua setelah ilmu yang berkaitan dengan ma’rifatullah (theology) yang mesti mendapat perhatian serius. Keberadaannya harus dijaga dan dipertahankan lewat pendidikan berkesinambungan. Karena siapa saja yang melalaikan keberadaan ilmu Balaghah pasti ia tidak akan mengetahui sisi kemukjizatan al-Qur’an, baik dari sisi keindahan susunan lafal, keunikan struktur kalimat, maupun keindahan-keindahan lainnya yang berhubungan dengan sisi maknanya.

Macam-Macam Ilmu Balaghah

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam kitab Balaghah permulaan, ilmu Balaghah masih belum dipilah kedalam beberapa bagian seperti sekarang ini. Pemilahan ini dirintis oleh Abdul Qahir al-Jurjani, dilanjutkan oleh As-Sakaki, dan dimantapkan lagi oleh Khatib al-Qazwaini. Dalam kitab Talkhisul Miftah yang dikutip oleh Abdul Jalal, beliau menjelaskan macam-macam ilmu Balaghah sebagai berikut: 

a). Ilmu Ma’ani, yang membahas segi lafal Arab yang relevan dengan tujuannya. Definisinya yaitu :
علم المعاني هو أصول وقواعد يعرف بها أحوال الكلام العربي التي يكون بها مطابقا لمقتضى الحال بحيث يكون وفق الغرض الذي سيق له
“Ilmu Ma’ani ialah ketentuan-ketentuan pokok dan kaidah-kaidah yang dengannya diketahui ihwal keadaan kalimat Arab yang sesuai dengan keadaan dan relevan dengan tujuan pengungkapannya”.

b). Ilmu Bayan, yang membahas segi makna lafal yang beragam. Definisinya yaitu :
علم البيان هو أصول وقواعد يعرف بها إيراد المعنى الواحد بطرق يختلف بعضها عن بعض في وضوح الدلالة العقلية على نفس ذلك المعنى
“Ilmu Bayan ialah beberapa ketentuan pokok dan kaidah yang dengannya dapat diketahui penyampaian makna yang satu dengan berbagai ungkapan, namun terdapat perbedaan kejelasan tunjukan makna antara satu ungkapan dengan ungkapan lainnya yang beragam tersebut”

c). Ilmu Badi’, yang membahas keindahan kalimat Arab. Definisinya yaitu:
البديع عو علم يعرف به الوجوه والمزايا التي تزيد الكلام حسنا وطلاوة وتكسوه بهاء ورونقا بعد مطابقته لمقتضى الحال
“Ilmu Badi’ ialah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui bentuk-bentuk dan keutamaan-keutamaan yang dapat menambah nilai keindahan dan estetika suatu ungkapan, membungkusnya dengan bungkus yang dapat memperbagus dan mepermolek ungkapan itu, disamping relevansinya dengan tuntutan keadaan”.